![]() |
ilustrasi/ist |
Salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sahamnya masih dimiliki
oleh negara 100 persen, yaitu PT. Pertamina (Persero) pada hari Jum'at
tanggal 12 Juni 2020 melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) kembali
menetapkan Nicke Widyawati menjadi Direktur Utama (Dirut). Penetapan
Nicke sebagai Dirut kali ini berjalan lancar dan mulus.
Menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Coroi, tidaklah
mudah perjalanan Nicke mengemban jabatan Direktur Utama pada masa
sebelumnya, yang mana prosesnya tidaklah begitu lancar dan mulus.
Diawali menjabat sebagai Direktur Sumber Daya Manusia, lalu lebih
dari 4 (empat) bulan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Utama,
barulah kemudian pada Hari Rabu tanggal 29 Agustus 2018 secara resmi
diumumkan Nicke Widyawati secara definitif menjadi Dirut Pertamina
melalui Keputusan RUPS SK 232/MBU/08/2018 tentang Pengalihan Tugas,
Pemberhentian, dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi Perusahaan
Perseroan (Persero) PT Pertamina.
}Jalan
berbelok dan keraguan publik saat penetapan menjadi Dirut bukanlah
membuat kesulitan yang dihadapi Nicke menjadi selesai. Banyak pekerjaan
dan tanggungjawab Persero yang berada dipundak jajaran yang saat itu
sangat gemuk, dan bisa membuat gerakan Pertamina menjadi tidak lincah,
tidak efisien dan efektif," tuturnya dalan keterangan tertulis, Jumat (19/6/2020).
Ditambah lagi, musibah pandemi corona virus
disease 2019 (covid 19) yang mendera bangsa Indonesia dan fluktuasi
harga keekonomian dunia dengan desakan publik untuk menurunkan harga
jual Bahan Bakar Minyak (BBM). Semua hal ini tidak ringan, namun telah
ditanggapi dengan kinerja yang cukup baik.
Dengan
struktur organisasi Direksi yang semula sangat gemuk, yaitu dijabat 11
orang menjadi 6 orang dan terdapat perubahan nomenclateur diharapkan
jalannya operasi Persero lebih luwes. Pengurangan jumlah jajaran Direksi
ini merupakan langkah tepat dalam menghadapi "tekanan" keuangan yang
dihadapi oleh Pertamina beberapa tahun terakhir.
"Jajaran Direksi yang
lebih ramping atau layak (feasible), memungkinkan Pertamina bergerak
lebih lincah merealisasikan dan melanjutkan proses transformasi dan
pembentukan holding BUMN Migas. Yang selama beberapa periode
kepemimpinan Direksi Pertamina sebelumnya agak berjalan ditempat dan
terkesan lambat," ungkapnya.
Selaku pemegang
saham utama PT Pertamina, pemerintah pernah menyoroti keterlambatan laporan keuangan
yang disampaikan jajaran direksi dalam kasus ini tidak hanya menjadi
wasit saja. Harus ada dukungan kebijakan yang memadai mensukseskan
program-program yang dibebankan kepada Pertamina secara konsisten.
Laporan keuangan Pertamina misalnya, untuk tahun buku 2018, yang
terlambat dilaporkan pada tanggal 31 Mei 2019, sedangkan ketentuan
pemerintah seharusnya laporan telah diterima pada bulan Februari 2019
haruslah ditepati.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis,
dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno atas permasalahan ini
pernah menyatakan, terlambatnya penyampaian dari yang telah ditetapkan
Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan tersebut, mengindikasikan
laporan keuangan Pertamian secara administrasi kurang sehat.
Polemik
keterlambatan laporan keuangan ini diakui oleh Direktur Keuangan
Pertamina yang masa itu dijabat oleh Pahala N. Mansury (saat ini Dirut
BTN), bahwa ada soal atas pendapatan yang diakui. Pendapatan itu,
khususnya yang terkait dengan piutang pemerintah untuk mengganti harga
jual eceran bahan bakar minyak penugasan pada periode itu yang di bawah
harga dasarnya.
Piutang pemerintah pada Pertamina itu untuk memastikan
proses auditnya dilakukan secara berdekatan, dan hal itu yang
menyebabkan penundaan, yaitu mengakui seluruh pendapatan, termasuk
penggantian dari pemerintah. Pada Tahun 2019, kembali PT. Pertamina
mengalami keterlambatan dalam menyampaikan laporan keuangannya.
Kalau
hanya sebatas pengakuan piutang pemerintah, semestinya Persero tidak
perlu sampai terlambat menyusun laporan keuangan secara rutin dan tepat
waktu. Tidak tepat pula menganggap secara akuntansi, bahwa piutang pada
pemerintah sebagai pendapatan apabila pos subsidi energi merupakan beban
atau pos biaya bagi Pertamina.
Soal ini merupakan catatan untuk Persero
atas informasi setoran kepada Negara yang diberikan pada Tahun 2018
sejumlah Rp 120 Triliun. Klarifikasi mengenai ini perlu dilakukan oleh
Pertamina dan Pemerintah agar publik memperoleh informasi yang tepat dan
benar secara akuntansi.
Terlepas dari
persoalan itu, apresiasi atas pengelolaan utang Pertamina patut
diberikan pada Dirut Pertamina, setelah pada Tahun 2018 utang perusahan
meningkat dari US$30,42 Miliar (kurs Rp 14.000) atau sejumlah Rp425,88
Triliuh, pada Tahun 2017 menjadi US$35,10 Miliar atau sejumlah Rp491,4
Triliun.
Utang tersebut pada Tahun 2019 telah berkurang menjadi US$35,04
Miliar atau sejumlah Rp490,56 Triliun ditengah beban kewajiban
pelayanan publik (Public Service Obligation/PSO) dan keharusan mencari
keuntungan (laba).
"Yang mengkhawatirkan saat ini adalah pengembalian
hasil (return) Pertamina atas harta (asset) yang dimiliki telah semakin
berkurang, yaitu Rp 120 Triliun terhadap Rp 893,2 Triliun atau 7,44
persen, dan terdapat penurunan jumlah harta kekayaan (asset)," sambungnya..
Kinerja Komisaris?
Kelanjutan
proses transformasi BUMN secara umum harus terus dilakukan dengan
melakukan restrukturisasi dan reorganisasi perusahaan secara hati-hati
dan terukur. Hal ini memang telah dilakukan oleh Pertamina melalui
perubahan organisasi sekaligus susunan Direksi Pertamina sesuai Rapat
Umum Pemegang Saham Perusahaan (RUPS) PT Pertamina (Persero).
Kebijakan
tersebut tertuang dalam Salinan Keputusan Menteri BUMN nomor
SK-198/MBU/06/2020, tentang Pemberhentian, Perubahan Nomenklatur
Jabatan, Pengalihan Tugas dan Pengangkatan Anggota-Anggota Direksi
Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pertamina.
Dalam
Surat Keputusan tersebut, pemegang saham menetapkan perubahan struktur
organisasi Direksi yang semula 11 orang menjadi 6 orang dan beberapa
diantaranya juga mengalami perubahan numenklateur. Dengan demikian,
secara umum tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan pada
pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di seluruh Holding Pertamina
(Group), mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan
program-program nasional. Sementara itu, subholding akan menjalankan
peran untuk mendorong operasionalisasi melalui pengembangan skala dan
sinergi masing-masing bisnis, mempercepat pengembangan bisnis dan
kapabilitas bisnis yang sedang berjalan (existing).
Kata Defiyan, qalaupun
begitu ada beberapa catatan yang publik harus mengetahui secara jelas
dan pasti arah dan strategi kebijakan Pertamina, dan tidak hanya soal
rekam jejak (track record) Direktur Utama Pertamina.
Yaitu soal posisi
BUMN yang termasuk kategori A dan terbesar di Indonesia serta kebanggaan
masyarakat Indonesia ini berada ditengah "himpitan" aturan yang
menghalangi gerak cepatnya, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003
tentang BUMN Pasal 66, UU Nomor 40 Tahun Tahun 2007, dan UU Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pertamina dan BUMN lain akan
kesulitan bersaing dan berhadapan dengan korporasi swasta (taipan) yang
tidak punya kewajiban serupa.
"Menteri BUMN
harus memperhatikan betul rekam jejak (track record) dan kompetensi
direksi yang lain atau tidak hanya Dirut yang walaupun memiliki
kapasitas dalam hal pengelolaan harta kekayaan (asset) dan keuangan,
tapi bisa saja hanya menjalankan bisnis seperti kebiasaan saja (business
as usual) atas permasalahan keuangan Persero dan perlakuan atas
Anak-anak Perusahaan (AP) Pertamina," tegasnya lago.
Jalan pintas mengajukan Initial
Public Offering (IPO) dari AP tersebut merupakan cara mudah dalam
memperoleh dana segar dari publik di satu sisi. Di sisi yang lain tentu
resiko dan konsekuensi yang terjadi atas AP di pasar bursa dan hilangnya
harta Pertamina serta pengabdian para karyawannya selama ini harus
diperhitungkan juga.
Permasalahan klasik soal
harga BBM, jaringan logistik BBM di wilayah yang masih terkendala,
pembangunan infrastruktur kilang minyak dan gas yang baru telah mulai
terselesaikan secara bertahap oleh kompetensi Nicke Widyawati. Kali ini
Presiden Joko Widodo melalui Erick Tohir sebagai pembantunya tidak salah
pilih lagi dalam menetapkan para Direksi BUMN, khususnya Dirut
Pertamina. Tuntutan penurunan harga BBM yang diajukan oleh publik pun
dapat ditangani dengan baik, bahkan kontribusi Pertamina atas penanganan
covid 19 sungguh tiada bandingannya. Bahkan korporasi swasta juga
dibantu mitra kerjanya yang sebenarnya bukan tanggungjawab Pertamina
secara langsung.
Namun, pekerjaan rumah soal
mafia migas sepertinya kinerja jajaran komisaris lah masalah utamanya.
Status Basuki Tjahaja Purnama (BTP/Ahok) sebagai mantan narapidana
adalah batu sandungan dalam menyelesaikan permasalahan Pertamina ke
depan.
Keraguan publik atas jajaran komisaris ini juga harus dapat
diselesaikan oleh Presiden, jika kinerja Direksi lebih baik lagi dan
membawa Pertamina menjadi terbesar dan pemain dunia yang disegani dapat
tercapai.
"Inilah hambatan atau tantangan transformasi Pertamina. Telah 3
(tiga) bulan lebih Ahok menjabat Komut Pertamina, malah hanya menumpang
prestasi kinerja Dirut saja. Direksi ramping adalah kebutuhan
(necessary) tapi belum mencukupi (sufficient) bagi pencapaian kinerja
yang tidak ringan tanpa dukungan komisaris yang berintegritas," demikian Defiyan. (rhm).